icon

Blog

img
Blog
02-05-2024
Pokok - Pokok Ajaran Islam tentang Halal dan Haram
Penulis: Admin
Pokok - Pokok Ajaran Islam tentang Halal dan Haram

  1. Asal tiap-tiap sesuatu adalah mubah
Dalam memahami pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, perlulah terlebih dahulu memahami dasar-dasarnya.
Dasar pertama ialah memahami bahwa asal tiap-tiap sesuatu adalah mubah. Tidak ada satupun yang haram kecuali ada dalil yang sah dan tegas dari syar’i yang mengharamkannya.
Contohnya seperti apabila ada hadits yang menunjukkan haram perihal sesuatu tetapi hadits tersebut lemah ataupun palsu, maka perihal tersebut kembali ke hukum asaknya, yaitu mubah.
Allah telah menjadikan apa-apa yang ada di bumi untuk kita, dan Dia telah menyempurnakan bagi kita nikmat-nikmatNya baik yang tampak maupun tidak tampak seperti dalam Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah/2:168 dan Q.S. Luqman/31:20
Dengan demikian, konteks dan arena haram dalam Islam sesungguhnya sempit sekali dibandingkan dengan arena halal yang justru sangat luas. Ini sekaligus menentang pemikiran-pemikiran yang menyatakan bahwa Islam terlalu banyak larangannya, padahal jika kita mau melihat dari sisi lain, justru yang halal lebih banyak, nikmat yang diberikan Allah jauh lebih besar dari itu, karena Allah memberikan kemudahan untuk hamba-hambaNya. Tidaklah Allah mengharamkan beberapa hal melainkan ada sebab dan hikmah di dalamnya.
 
  1. Menentukan halal dan haram semata-mata hak Allah
Dasar kedua yang harus dipahami terkait pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram ialah memahami bahwa menentukan halal dan haram semata-mata hak Allah.
Firman Allah dalam Q.S. An-Nahl/16:116
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.”
Dari dalil di atas dapat diketahui bahwa hanya Allah lah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (Al quran) ataupun melalui rasulNya (Hadits). Adapun keputusan maupun fatwa dari para ulama merupakan tugas mereka dalam menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-An’am/16:119
“... padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu.”
Jadi berhati-hatilah jika tidak mempunyai ilmu yang cukup dalam menerangkan dalil, jangan sampai karena hukum segala sesuatu boleh membuat semena-mena dalam menentukan halal dan haramnya sesuatu.
 
  1. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik
Islam melarang  dan mencela sikap orang-orang yang suka mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah maupun menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Maidah/5:87-88
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik sebagaimana Rasulullah SAW dalam Hadits Qudsi berkata, firman Allah: “Aku ciptakan hamba-hambaKu  ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaithan kepada mereka. Syaithan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Demikianlah larangan Allah terhadap perbuatan yang mengharamkan yang halal maupun sebaliknya yang termasuk kedalam iftiraa ‘alallah ta’ala atau kedustaan atas nama Allah Ta’ala dimana dosa dari perbuatan ini lebih tinggi derajat keburukannya sebagaimana dosa syirik.
 
  1. Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya
Mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa suatu keburukan dan bahaya, sedang seluruh bentuk bahaya hukumnya haram dan sebaliknya sesuatu yang bermanfaat hukumnya halal. Perlu untuk dipahami bahwa ketika ada sesuatu persoalan memiliki bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram, dan jika manfaatnya yang lebih besar maka hukumnya halal.
Contohnya pada hukum meminum khamr, firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah/2:219
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya....“
Begitupun mengenai halal, ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dijawab dengan singkat “Thayyibat” (yang baik-baik), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah/5:4
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik....”
Jadi tidaklah pantas bagi seorang muslim mengharamkan yang halal padahal secara rinci dijelaskan dalam dalil bahwa justru yang diharamkan oleh Allah itu karena ada bahaya yang terkandung di dalamnya.
 
  1. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram
Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ diberikan suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu.
Allah mengharamkan mengundi nasib dengan anak panah, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari untung dengan jalan riba, tetapi Ia berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung Allah mengharamkan berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari perlombaan seperti memacu kuda ataupun memanah. Allah juga mengharamkan sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang terbuat dari wool, kapuk, dan cotton.
Allah telah mengharamkan berbuat zina dan liwath, tetapi Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah telah mengharamkan minum-minuman keras, tetapi Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat menyehatkan. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits), tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik (thayyibat)`
Demikianlah ketetapan Allah yang tidak mempersukar hamba-Nya, tidak ada kesempitan berupa keharaman melainkan ada hal lain yang halal lagi baik.
 
  1. Apa saja yang membawa kepada Haram adalah Haram
Apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka jalan dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram akan dihukumi haram. Kaidah ini sejalan dengan yang diakui oleh Islam bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelaku itu sendiri secara langsung, tetapi juga termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta maupun melalui sikap, masing-masing akan mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya.
Misalnya tentang khamr, Rasulullah SAW melaknat kepada yang meminumnya, yang membuatnya, yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya, dan seterusnya. Begitu juga dengan riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya, dan saksi-saksinya.
Jadi, semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram maka hukumnya adalah haram juga, dan semua orang yang turut membantu kepada orang yang melakukan perbuatan haram, maka ia akan terlibat dalam dosanya juga.
 
  1. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya adalah haram
Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka Islam juga mengharamkan semua kebijakan atau siasat untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak tampak dan samar-samar.
Termasuk kedalam bersiasat perbuatan menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain ataupun merubah bentuknya padahal intinya itu juga. Oleh sebab itu, siapapun yang merubah bentuk dengan niat sekedar siasat supaya dapat makan riba, atau membuat nama baru dengan niat supaya dapat minum khamr, maka dosa riba dan khamr tidak dapat hilang. Untuk itulah, maka dalam beberapa Hadis Nabi disebutkan: "Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal minum khamr dengan memberikan nama lain." (Riwayat Ahmad) "Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal riba dengan nama jual-beli."
Berhati-hatilah kita terhadap keganjilan di zaman sekarang ini, banyak orang menamakan tarian porno dengan nama seni tari, khamr dinamakan minuman rohani dan riba dinamakan keuntungan dan sebagainya.
 
  1. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram
Niat yang baik dapat digunakan untuk seluruh perbuatan yang mubah dengan tujuan berbakti dan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan memperkuat tubuh supaya dapat melaksanakan kewajibannya kepada Allah, maka makan dan minumnya itu dapat dinilai sebagai amal ibadah.
Adapun masalah haram tetap dinilai haram betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan).
Demikianlah seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah SAW,. Bahwa Sesungguhnya Allah itu baik dan Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula.
 
  1. Menjauhkan diri dari Syubhat karena takut terlibat dalam Haram
Dibalik persoalan antara halal dan haram dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.
Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara' (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Sifat ini membawa seorang muslim untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat supaya tidak  terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Hal ini sesuai dengan hadits dari An Nu’man bin Basyir r.a, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW  bersabda “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarakan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
 
  1. Sesuatu yang Haram berlaku untuk semua orang
Dalam pandangan syari’at Islam, haram itu sifatnya menyeluruh. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal buat orang kulit putih. Tidak ada sesuatu rukhsah (keringanan) yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan manusia yang dengan menggunakan nama rukhsah itu mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Tidak seorang muslim pun yang mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram untuk orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapannya, berarti halal untuk segenap ummat manusia, dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram, baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam; baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan kedudukannya. Seperti halnya yang dilakukan Rasulullah "Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (Riwayat Bukhari)
 
  1. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang
Sebagaimana penjelasan dipostingan sebelumnya, jelaslah bahwa Islam mempersempit daerah haram dengan mempertegas semua yang terkait tentang haram. Akan tetapi Islam tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu ketika seorang muslim dalam keadaan yang sangat terpaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaaan.
Sebagaimana firman Allah Q.S. Al-Baqarah/2:173
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Terdapat suatu pembatas terhadap orang yang disebut dalam keadaan terpaksa ini, yaitu dengan kata-kata tidak sengaja dan tidak melewati batas. Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu maksudnya tidak sengaja untuk mencari kelezatan, dan pengertian tidak melewati batas itu maksudnya tidak melewati batas ketentuan hukum.
Oleh karena itu, para ulama ahli fiqih menetapkan prinsip adh-dharuratu tuqaddaru biqadriha (darurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Sehingga dengan demikian seseorang tidak akan tersentuh dengan haram akibat mempermudah darurat.