icon

Blog

img
Blog
03-05-2024
Halal dan Haram tentang Makanan dan Minuman
Penulis: Admin
Halal dan Haram tentang Makanan dan Minuman
  1. Islam menghalalkan yang baik
Islam datang ketika manusia berada dalam pemahaman akan kebebasan soal makanan dan ekstrimis soal larangan, hingga segenap manusia diseru lewat firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah/2:168
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Kemudian seruan ini lebih lanjut secara khusus disampaikan kepada kaum mu’min pada Q.S. Al-Baqarah/2:172-173
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Dari ayat ini, bisa kita pahami bahwa Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman supaya memakan yang baik dan supaya menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada-Nya.
 
  1. Diharamkannya bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan atas nama Allah
Sebagaimana pada postingan sebelumnya terdapat 4 hal yang diharamkan Allah pada Q.S. Al-Baqarah/2:172, kemudian 4 hal ini ditegaskan pada Q.S. Al- An’am/6:145
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Pada Q.S.Al-Maidah/5:3, binatangyang diharamkan itu diperinci kembali
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala.”
Antara ayat ini yang menetapkan 10 macam binatang yang haram, dengan ayat sebelumnya yang menetapkan 4 macam itu, samasekali tidak bertentangan. Binatang yang dicekik, dipukul, jatuh dari atas, ditanduk dan karena dimakan binatang buas, semuanya adalah termasuk dalam pengertian bangkai. Jadi semua itu sekedar perincian dari kata bangkai. Begitu juga binatang yang disembelih untuk berhala, adalah semakna dengan yang disembelih bukan karena Allah. Jadi kedua-duanya mempunyai pengertian yang sama.
Ringkasnya, secara umum binatang yang diharamkan itu ada empat macam, dan kalau diperinci menjadi sepuluh.
 
  1. Macam-Macam Bangkai yang diperinci Al Quran
Bangkai adalah makanan haram yang pertama kali disebutkan dalam Al Quran. Yang dimaksud dengan bangkai di sini ialah binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia yang  memang sengaja disembelih atau dengan berburu.
Macam-macam bangkai yang diperinci dalam Q.S Al Maidah/5:3 yaitu:
  1. Al Munkhaniqah, yaitu binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang tersebut ataupun meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga binatang tersebut mati.
  2. Al Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya.
  3. Al Mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati.
  4. An Nathihah, yaitu binatang yang ditanduk oleh binatang lainnya sehingga mati.
  5. Maa akalas sabu, yaitu binatang yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga mati.
Kelima binatang ini termasuk bangkai kecuali yang sempat disembelih, yakni apabila ditemui binatang-binatang tersebut didapati dalam keadaan masih hidup, maka sembelihlah sehingga binatang tersebut menjadi halal.
 
  1. Ikan dan Belalang adalah bangkai yang Halal
Binatang yang dikecualikan oleh syari'at islam dari kategori bangkai yaitu belalang, ikan dan sebagainya dari macam binatang yang hidup di dalam air
Rasulullah SAW ketika ditanyai soal laut, maka beliau menjawab, "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal." (Riwayat Ahmad dan ahli sunnah)
Dan firman Allah Q.S Al-Maidah/5:96
"Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; ...."
Dalam hal belalang, Rasulullah SAW memberikan suatu perkenan untuk dimakannya walaupun sudah menjadi bangkai, karena satu hal yang tidak mungkin untuk menyembelihnya. Ibnu Abi Aufa mengatakan:
"Kami pernah berperang bersama Nabi tujuh kali peperangan, kami makan belalang bersama beliau." (Riwayat Jama'ah, kecuali Ibnu Majah)
Kemudian didasarkan pada sabda Rasulullah SAW
“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa. (H.R. Ibnu Majah)
 
  1. Memanfaatkan kulit, tulang, dan rambut bangkai
Yang dimaksud haramnya bangkai, hanyalah soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulitnya, tanduknya, tulangnya, atau rambutnya tidaklah terlarang.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan, bahwa salah seorang hamba Maimunah yang telah dimerdekakan pernah diberi hadiah seekor kambing, kemudian kambing itu mati dan secara kebetulan Rasulullah berjalan melihat bangkai kambing tersebut, maka bersabdalah beliau:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkannya?" Para sahabat menjawab: "Itu kan bangkai!" Maka jawab Rasulullah: "Yang diharamkan itu hanyalah memakannya." (Riwayat Jama'ah, kecuali Ibnu Majah)
Rasulullah SAW menerangkan cara untuk membersihkannya, yaitu dengan jalan disamak. Sabda beliau:
"Menyamak kulit binatang itu berarti penyembelihannya." (Riwayat Abu Daud dan Nasa'i)
Dan diriwayatkan pula dari Abdullah bin Abbas dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR. Muslim)
 
  1. Hikmah diharamkannya bangkai
Dibalik diharamkannya bangkai terkandung hikmah yang sangat besar, diantaranya:
  1. Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan bangkai dan dia pun akan menganggapnya kotor.
  2. Supaya setiap muslim suka membiasakan bertujuan dan berkehendak dalam seluruh hal. Dalam arti menyembelih (yang dapat mengeluarkan binatang dari kedudukannya sebagai bangkai) bertujuan untuk merenggut jiwa hewan karena hendak memakannya. Hewan yang disembelih dan diburu tidak akan dapat dicapai melainkan dengan tujuan, usaha, dan perbuatan.
  3. Hewan yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena suatu sebab, mungkin karena ada penyakit yang mengancam atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang beracun, dan sebagainya. Hal ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan.
  4. Allah mengharamkan bangkai kepada manusia berarti dengan begitu Ia telah memberikan kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya sebagai tanda kasih sayang Allah kepada burung atau hewan tersebut.
  5. Supaya manusia selalu memperhatikan hewan-hewan yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja hewannya tersebut diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dengan sendirinya.
 
  1. Haramnya darah yang mengalir
Makanan kedua yang diharamkan setelah bangkai adalah darah yang mengalir. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab beliau: Makanlah! Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir.
Orang-orang jahiliah dahulu jika lapar, diambilnya sesuatu yang tajam dari tulang ataupun lainnya, kemudian ditusukkannya kepada unta atau binatang lain, dan darahnya yang mengalir itu dikumpulkan lalu diminum. Seperti yang dikatakan oleh Al-A’syaa dalam syairnya
 
Janganlah kamu mendekati bangkai
Jangan pula kamu mengambil tulang yang tajam
Kemudian kamu tusukkan dia untuk mengeluarkan darah
 
Oleh karena mengeluarkan darah dengan cara yang seperti itu termasuk menyakiti dan melemahkan binatang, maka akhirnya diharamkan darah tersebut oleh Allah SWT., dan darah ini pun dapat diduga akan berbahaya, sebagaimana halnya bangkai mengingat darah yang mengalir ini bisa saja kotor yang tidak mungkin jiwa manusia yang bersih suka kepadanya.
 
  1. Haramnya daging babi
Makanan ketiga yang diharamkan ialah daging babi. Naluri manusia yang baik sudah barang tentu tidak akan menyukainya, karena makanan-makanan babi itu yang kotor-kotor dan najis. Ilmu kedokteran sekarang mengakui bahwa makan daging babi itu salah satu sebab timbulnya cacing pita yang sangat berbahaya. Maka ingatlah apa yang ditegaskan Allah dalam Q.S.Al-A’raf/7:156
“Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor.”
Namun, bagaimanapun segi ilmiah yang dikuak terkait tidak menyehatkannya babi ini, tetaplah bagi seorang muslim berprinsip untuk meninggalkan hal-hal yang sudah dilarang dan diharamkan oleh Allah SWT sebagai bukti keimanan, bukan karena ada faedah yang didapatkan ataupun alasan kesehatan untuk menghindarkan penyebab kita meninggalkan yang diharamkan.
 
  1. Hewan yang disembelih bukan karena Allah
Makanan keempat yang diharamkan adalah hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, misalnya nama berhala kaum penyembah berhala (watsaniyyin) dahulu apabila hendak menyembelih binatang, mereka sebut nama-nama berhala mereka seperti Latta dan Uzza.
Allah lah yang telah menjadikan manusia, yang menyerahkan semua di bumi ini kepada manusia dan yang menjinakkan binatang untuk  manusia, telah memberikan izin kepada manusia untuk mengalirkan darah hewan tersebut guna memenuhi kepentingan manusia dengan menyebut asma-Nya ketika menyembelih. Dengan demikian, menyebut nama Allah ketika itu berarti suatu pengakuan, bahwa Dialah yang menjadikan hewan yang hidup ini, dan kini telah memberi izin untuk menyembelihnya.
Oleh karena itu, menyebut selain nama Allah ketika menyembelih berarti meniadakan izin tersebut dan dia berhak menerima larangan memakan hewan yang disembelih itu.
 
  1. Binatang yang disembelih untuk berhala adalah haram
Perincian dari hewan yang disembelih bukan karena Allah adalah hewan yang disembelih untuk berhala.
Orang-orang jahiliyah biasa menyembelih hewan untuk dihadiahkan kepada berhala-berhala dengan maksud bertaqarrub kepada Tuhan mereka. Hewan-hewan yang disembelih untuk maksud seperti itu termasuk salah satu macam yang disembelih bukan karena Allah.
Baik yang disembelih bukan karena Allah ataupun yang disembelih untuk berhala, keduanya adalah suatu pengagungan terhadap berhala (taghut).
Perbedaan antara keduanya ialah bahwa hewan yang disembelih bukan karena Allah itu, hewannya jauh dari patung atau berhala tetapi di situ disebutkannya nama berhala tersebut. Adapun hewan yang disembelih untuk berhala, hewan tersebut disembelih di dekat patung atau berhala tersebut dan tidak mesti dengan menyebut nama selain Allah.
 
  1. Daruratnya berobat
Daruratnya berobat yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama fiqih. Ada pendaat bahwa berobat tidak dianggap sebagai darurat yang memaksa seperti makan. Ini didasarkan pada sebuah hadits
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu.” (Riwayat Bukhari)
Sementara beberapa ada yang beranggapan keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat seperti makan. Dalil yang mendasari ialah hadits Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair bin Awwam yang disebabkan karena penyakit yang diderita mereka, padahal memakai sutera pada dasarnya terlarang dan diancam.
Tetapi keringanan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya beberapa syarat
  1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
  2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu.
  3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i’tikad baiknya)
 
  1. Perseorangan tidak boleh dianggap darurat kalau dia berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu yang dapat mengatasi keterpaksaannya
Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakat itu ada orang (muslim atau kafir), yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm “Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim atau kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang  sedang kelaparan.”
Karena itu sebagaimana prinsip masyarakat Islam bahwa harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.